Traditional House Engganese People, from Enggano (Island of Women)

Posted by Unknown at 5:35 PM

Friday, December 26, 2008

Kompas/Lucky Pransiska
Rumah adat Suku Kaitora di Desa Meok, Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, Rabu (14/5). Rumah adat tersebut berfungsi antara lain sebagai tempat pertemuan dan musyawarah kepala adat dengan warga.












Di Enggano, Adat Masa Lalu Menjadi Pegangan Masa Kini

Posted by Unknown at 3:08 AM

Thursday, December 25, 2008

Oleh: Emilius Caesar Alexey

Tidak banyak orang menyangka bahwa Pulau Enggano mempunyai penduduk asli, yaitu suku Enggano. Keberadaannya yang terletak di tengah Samudra Hindia sering membuat banyak orang tidak percaya pulau itu masih dikuasai oleh masyarakat asli dan bukan hanya dihuni oleh kaum pendatang.

Berdasarkan penelitian Pieters J Ter Keurs dari Museum Nasional Ethnologi Belanda, suku Enggano pertama kali dilihat oleh awak kapal dari Portugis yang kapalnya mendarat di Pulau Enggano pada awal tahun 1500-an. Mereka mendarat untuk mendapatkan suplai makanan dan air bersih setelah berpekan-pekan berlayar. Namun, mereka kecewa karena hanya dapat memperoleh air bersih dan perlakuan tidak bersahabat dari masyarakat suku asli.

Catatan lain mengenai suku Enggano diperoleh dari perjalanan Charles de Houtman, perintis ekspedisi Belanda ke Nusantara, pada 5 Juni 1596. Menurut catatan itu, anak buah Charles yang mencari air dan makanan segar di Pulau Enggano segera pergi begitu melihat penduduk asli yang bersikap agresif dan hendak menyerang.

Asal-usul masyarakat suku Enggano susah ditentukan karena cerita lokal sangat bersifat mistis. Sementara migrasi penduduk dari pulau lain diperkirakan sulit dilakukan pada tahun 1500-an karena terisolasi samudra. Kemungkinan adanya migrasi dinilai sebagai kemungkinan asal-usul yang paling masuk akal dari suku Enggano.

Semua hasil penelitian Pieters itu mirip dengan cerita turun- temurun yang dituturkan oleh Dihuit Alfaret, salah satu tetua pulau yang telah berumur 71 tahun dan Sekretaris Dewan Kesenian Enggano, yang ditemui Kompas di Desa Meok, Pulau Enggano. Menurut Alfaret, nama Enggano berasal dari bahasa Portugis yang berarti kecewa.

Alfaret menuturkan, berdasarkan cerita dari para leluhurnya, asal-usul suku Enggano dimulai dari kisah hidup Kimanipe dan Manipah, dua manusia pertama di pulau itu, yang ceritanya seperti Adam dan Hawa. Kimanipe adalah seorang laki-laki yang merupakan ciptaan pertama.

Pada saat Kimanipe berjalan- jalan, dia menemukan tulang yang kemudian dibawanya dan diberi nama Manipah. Pada saat malam, tulang itu berubah menjadi seorang perempuan. Kemudian, Kimanipe dan Manipah menikah.

Pernikahan itu menghasilkan lima anak, yaitu Kaitora, Kaohoa, Kauno, Kaarubi, dan Kaaruba. Uniknya, kata Alfaret, kelima anak itu bukan dilahirkan oleh Manipah, tetapi muncul dari kayu yang ditemukan dan disayangi oleh Kimanipe.

Dari kelima anak laki-laki itu, suku Enggano mulai bertambah banyak dan setiap orang harus menyandang nama kakek moyangnya sebagai pembeda klan.

Ketika perkembangan klan menjadi semakin besar, mereka menetapkan diri menjadi kelompok suku yang berbeda dan mulai menentukan batas wilayah masing-masing. Karena jumlahnya yang terus membesar, suku Kauno, Kaarubi, dan Kaohoa membentuk suku yang berjumlah 13 atau subsuku agar memudahkan pengaturan penduduk.

Menurut Awal Veck Kaitora, kepala suku Kaitora, dulu masing-masing suku sering berperang untuk perebutan wilayah. Rumah-rumah adat yang dinamakan yubuaho dibangun bertingkat dua, dengan bentuk segi delapan atau heksagon dan ditempatkan di puncak bukit agar memudahkan pengintaian terhadap lawan dan untuk melarikan diri jika kalah.

Garis matrilineal

Terlalu seringnya peperangan dan kegiatan kaum lelaki membuat kelima suku di Enggano menetapkan perempuan sebagai pewaris suku dan menciptakan garis matrilineal. Nama suku diwariskan dari nama suku ibu.

Selain itu, warisan yang berupa barang tidak bergerak, seperti tanah, juga diwariskan kepada anak perempuan. Anak lelaki hanya menerima peralatan pertanian dan senjata tajam.

Meskipun garis matrilineal yang diterapkan, yang berhak menjadi kepala suku tetap laki-laki karena kerasnya kehidupan saat itu. Menurut sosiolog Universitas Bengkulu, sistem matrilineal merupakan sistem yang banyak berkembang di Sekitar Sumatera, seperti pada suku Minang di Sumatera Barat dan suku Semendo di Kabupaten Pagar Alam, Sumatera Selatan.

Sistem ini dianut karena banyak lelaki sering merantau sehingga potensi kehilangan properti suatu suku sangat besar. Kaum perempuan ditunjuk menjadi ahli waris dan penjaga hak waris suku karena pergerakan mereka relatif sempit.

Perubahan besar terjadi sekitar tahun 1866. Menurut Alfaret, perubahan ditandai dengan berakhirnya perang antarsuku dan banyak penduduk yang keluar dari Pulau Enggano untuk merantau ke Jawa dan Sumatera. Terjadi pengurangan jumlah penduduk yang cukup besar.

Berdasarkan penelitian Pieters, penghentian perang dan perpindahan itu juga dipengaruhi merebaknya wabah kolera, malaria, dan beberapa jenis penyakit lain. Kedua kondisi itu membuat jumlah penduduk turun drastis, dari 6.420 jiwa di tahun 1866 menjadi 840 jiwa di tahun 1884. Belanda, kata Pieters, mengirim dokter untuk menghentikan penyakit itu. Mereka akhirnya memaksa penduduk turun dari perbukitan dan mendirikan desa-desa di tepi pantai agar mudah dijangkau.

Beberapa puluh tahun kemudian, para perantau asal Enggano pulang dan membawa anak dan istri mereka ke pulau itu.

Menurut Zulkifli Kaaruba, kepala suku Kaaruba, ayahnya berasal dari Banten, tetapi ibunya warga Enggano sehingga dia memiliki nama suku Enggano. Banyak orang yang memiliki percampuran darah sehingga keaslian suku Enggano sulit ditemui.

Masa kini

Menurut Awal Veck, setelah perubahan besar itu, masyarakat Enggano mencoba menggali lagi akar budaya mereka dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sosial. Banyak peraturan adat ditetapkan berdasarkan kebiasaan masa lalu dan disesuaikan dengan kondisi masa kini.

Kelima suku yang tinggal bercampur di enam desa mengangkat pabuki atau koordinator lima suku. Pabuki merupakan orang yang sangat dihormati dan kata- katanya dipatuhi dalam setiap musyawarah.

Musyawarah, kini, menjadi jalan penyelesaian setiap konflik suku Enggano. Setiap kesalahan besar harus dimusyawarahkan dan pelakunya akan dikenai denda uang, emas, pakaian, atau senjata tajam sebagai ganti hukum formal pemerintah.

Suku Enggano juga sudah membagi tanah yang menjadi hak waris dari setiap suku. Penggunaan atau penguasaan atas suatu bidang tanah harus meminta izin dari kepala suku.

Menurut Arifin Kaarubi, kepala suku Kaarubi, jika penduduk suatu suku atau pendatang ingin memiliki tanah, mereka harus tinggal secara permanen di Enggano.

Sesudah meminta izin, mereka boleh membuka hutan sesuai dengan petunjuk kepala suku. Akan tetapi, ada beberapa larangan pembukaan lahan baru yang harus diperhatikan, yaitu tidak boleh membuka lahan di dekat mata air dan tidak boleh menyerobot lahan milik orang lain.

Kebiasaan perang kini diubah menjadi tari perang dan tari semut untuk menyambut tamu dan memberi penghormatan. Rumah adat tidak lagi difungsikan sebagai tempat pengintaian, tetapi menjadi ikon wisata dan tempat penginapan turis.

<-- http://64.203.71.11/kompas-cetak/0508/15/tanahair/1978185.htm -->